Jari jemari orangtua
itu mengarang enam tingkatan nada di atas sepotong bambu. Sebuah seri
cerita mengiringi naik turunnya irama. Kian larut, seri cerita Nurjanah
semakin menyayat kelam. Ulah seruling pendendang Group Pauh Sejati,
mertua kejam menari di tengah malam.
MALAM itu, Rabu (3/3), para seniman, sastrawan, mahasiswa, sejumlah tokoh masyarakat dan generasi muda beradu pada satu maqam. Mereka mencumbu belalai angin Rimbotarok yang menerbangkan lirik-lirik gurindam dendang pauh.
Rimbotarok merupakan kampung di
mana “Festival Nan Jombang Tanggal 3” dihelat. Tua muda duduk
bersantai membentuk setengah lingkaran sambil menyeruput kopi suguhan
panitia. Di antara selangkangan dua deretan anak tangga, ada pendendang
yang tak henti-hentinya menyemai kata. Tak lama berselang, Kelurahan
Gunungsarik itu tiba-tiba diguyur hujan. Pendendang Nan Jombang pun
dipindahkan ke dalam ruangan.
“Anggang di ateh Batang Pauh, di balik batang si rapuyan. Sambie parintang hati rusueh, dikayai duduk ke sasaran
(Anggang di atas pohon pauh, di belakang batang rapuyan. Sambil
pelipur hati yang rusuh, pindahkan duduk ke arena pementasan),” imbau
Buyung Bungo, pendendang Pauh sejati.
Di sela sorak-sorai penonton,
sepasang bule memasang wajah kagum. Sesekali si bule membagi senyumnya
dengan pendendang. Malam kian larut, penonton makin terpaut.
Itulah satu dari sekian banyak
pertunjukan tradisi di Ranah Minang. Seni budaya yang nyaris punah.
Khusus pemain dendang pauh, kini tak lebih dari hitungan jari tangan.
Lekang oleh zaman.
Seni budaya yang muncul
sekitar tahun 1940 itu, kata Buyung Bungo, awalnya dimainkan
sepasang suami istri saat menanam padi. Untuk membujuk lelah, suami
meniup pupuik padi (batang padi yang dilubangi). Istri mengiringi
dengan dendang halus.
“Istilah kami dulu disebut marunguih. Suami terus saja meniup pupuik padi. Si istri juga, mengiringinya dengan marunguih,” cerita Buyung Bungo.
Pria yang memiliki nama asli
Samsudin By Gunung Alam itu, menuturkan, saluang dan dendang pauh dulu
sering dimainkan dalam berbagai perhelatan. Belum menyerupai
tampilannya yang sekarang. Jumlah tukang dendang kala itu banyak, dan
saluangnya satu. Dibarengi juga dengan gendang rabana. tidak ada cerita,
baru berbentuk raun sabalik (pantun bebas). Sekitar 1980, dendang pauh dimodifikasi, Dimainkan satu pendendang dan satu tukang saluang (peniup seruling), serta mulai memainkan cerita.
Banyak cerita yang dikabakan oleh dendang pauh. Buyung Bungo menyebut, ada kaba bertema Mertua Kejam pada Menantu, yang dilakoni Nurjana. Cerita Kasih tak Sampai, Emas Disangko Loyang, Hanyuik Sarantau dan kaba lain yang disesuaikan dengan kondisi pendengarnya.
Dendang pauh diiringi enam tingkatan nada. Sesi awal, tukang saluang memainkan nada pado-pado untuk pembukaan. Dilanjutkan pokok anam, pokok limo, lereng limo, lereng ibo, saluang pirik randam dan nada lambok malam.
“Semua tingkatan itu dibunyikan oleh peniup seruling, tergantung
cerita. Apakah sedih atau senang, atau biasa-biasa saja. Nada yang
paling sedih, nada lambok malam, seperti cerita kematian,” terangnya.
Saluang dan dendang pauh punya keistimewaan dibandingkan saluang dari daerah darek. Kesenian asal Pauhlimo ini tidak hanya gurindam dan pantun lepas, tetapi mengikuti alur cerita dan kaba.
Mengandung nasihat dan tidak ada batasan waktu bagi penonton. Seperti
anak-anak, nonton hingga pukul 12 malam. Sementara dari malam mejelang
pagi, giliran yang tua-tua. Kata yang disampaikan dapat didengar ipar
besan, sumando dan mamak rumah, menantu dan mertua secara bersamaan. Sebab, isinya lebih kepada nasihat.
“Musik nan indak patueh pado nada, tapi bajalan satapak jajak. Itulah dendang pauh. Musiknya tidak tunduk pada nada serulingnya, tetapi mereka sejalan,” kias Buyung Bungo.
Dari segi bentuk, saluang pauh berlidah dan memiliki enam lobang, sementara saluang darek hanya empat lobang. Cara memainkannya juga tak sama. Saluang darek posisinya di pinggir bibir. Kalau saluang pauh, posisi memainkannya di depan bibir dan sejajar dengan wajah.
“Di ma simpang tapi lawik,
di ateh tanah lapang dipo, sabalah taman melati. Apang lapeh badan
tasapik, buayan buluh bakarajo, ulah mambuek kareh hati.”
“Ini isyarat kehati-kehatian
buat generasi muda. Jangan terlena oleh buayan dan keindahan, sebab
yang memberi keindahan, sewaktu-waktu mengantarkan kita pada keadaan
terjepit,” tutur Buyung Bungo sambil mencontohkan salah satu nasihat
dendang pauh.
Dia berharap, seluruh lapisan
masyarakat, ninik mamak dan pemerintah daerah menggairahkan pementasan
dendang pauh. “Ini untuk kelestarian seni budaya Minangkabau. Kita tidak
melarang hiburan kebarat-baratan seperti orgen tunggal yang mewarnai
pesta di Ranah Minang ini. Namun, saya harap, kita jangan meninggalkan
seni tradisi. Pemda dapat buat aturan,” ujarnya.
“Contohnya, siang hingga pukul
enam boleh berorgen. Lalu malamnya, berkesenian tradisional. Kapolsek
juga buat aturan, tidak ada izin keamanan jika orgen lewat dari pukul
enam sore. Bisa saja kalau kita mau bekerja sama. Saya yakin, kesenian
tradisional akan hidup,” papar Buyung Bungo.
Senada dengan itu, Kurator
Ladang Nan Jombang Tanggal 3, Syuhendri mengatakan, rancangan
pembangunan harus diiringi dengan pelestarian kebudayaan. “Negeri ini
puisi. Penuh dengan keindahan. Tinggal bagaimana kita menumbuhkan
semangat berkebudayaan sehingga keindahan puisi itu tetap terjaga,”
tuturnya.
“Festival Nan Jombang Tanggal
3”, berupaya melakukan penyelamatan sesegera mungkin. “Jika generasi
mendatang hanya mendengar cerita-cerita saja tanpa pernah menyaksikan,
kecil kemungkinan mereka akan mengenali budayanya sendiri. Sebaliknya,
jika generasi muda telah mengenali budaya, pasti akan muncul rasa
memiliki, rasa ingin belajar dan perlahan akan menjadi jati diri
generasi muda Minang. Semangat berkebudayaan,” ujar Syuhendri.
Padek, Jumat (05/04/2013) by cr1







0 komentar:
Posting Komentar