Kamis, 11 April 2013

Dendang dan Saluang Pauh di Nan Jombang Tanggal 3

Peniup Pesan nan Selalu Dirindukan
Jari jemari orangtua itu mengarang enam tingkatan nada di atas sepotong bambu. Sebuah seri cerita mengiringi naik turunnya irama. Kian larut, seri cerita Nurjanah semakin menyayat kelam. Ulah seruling pendendang Group Pauh Sejati, mertua kejam menari di tengah malam.

MALAM itu, Rabu (3/3), para seniman, sastrawan, ma­hasiswa, sejumlah tokoh ma­sya­rakat dan generasi muda beradu pada satu maqam. Mereka mencumbu belalai angin Rimbotarok yang me­ner­bangkan lirik-lirik gurin­dam dendang pauh.

Rimbotarok merupakan kampung di mana “Festival Nan Jombang Tanggal 3” dihe­lat. Tua muda duduk bersantai membentuk setengah lingka­ran sambil menyeruput kopi suguhan panitia. Di antara selangkangan dua deretan anak tangga, ada pendendang yang tak henti-hentinya me­nye­mai kata. Tak lama berse­lang, Kelurahan Gunungsarik itu tiba-tiba diguyur hujan. Pendendang Nan Jombang pun dipindahkan ke dalam ruangan.

Anggang di ateh Batang Pauh, di balik batang si rapu­yan. Sambie parintang hati rusueh, dikayai duduk ke sasaran (Anggang di atas po­hon pauh, di belakang batang rapuyan. Sambil pelipur hati yang rusuh, pindahkan duduk ke arena pementasan),” imbau Buyung Bungo, pendendang Pauh sejati.

Di sela sorak-sorai penon­ton, sepasang bule memasang wajah kagum. Sesekali si bule membagi senyumnya dengan pendendang. Malam kian la­rut, penonton makin terpaut.

Itulah satu dari sekian banyak pertunjukan tradisi di Ranah Minang. Seni budaya yang nyaris punah. Khusus pemain dendang pauh, kini tak lebih dari hitungan jari tangan. Lekang oleh zaman.

Seni budaya yang muncul se­kitar tahun 1940 itu, kata Bu­­yung Bungo, awalnya di­main­kan sepasang suami istri saat menanam padi. Untuk membujuk lelah, suami me­niup pupuik padi (batang padi yang dilubangi). Istri mengi­ringi dengan dendang halus.

“Istilah kami dulu disebut marunguih. Suami terus saja meniup pupuik padi. Si istri juga, mengiringinya dengan marunguih,” cerita Buyung Bungo.

Pria yang memiliki nama asli Samsudin By Gunung Alam itu, menuturkan, saluang dan dendang pauh dulu sering dimainkan dalam berbagai perhelatan. Belum menyeru­pai tampilannya yang sekarang. Jum­lah tukang dendang kala itu banyak, dan saluangnya satu. Dibarengi juga dengan gendang rabana. tidak ada cerita, baru berbentuk raun sabalik (pantun bebas). Seki­tar 1980, dendang pauh dimo­difikasi, Dimainkan satu pen­dendang dan satu tukang sa­luang (peniup seruling), serta mulai memainkan cerita.

Banyak cerita yang dika­bakan oleh dendang pauh. Buyung Bungo menyebut, ada kaba bertema Mertua Kejam pada Menantu, yang dilakoni Nurjana. Cerita Kasih tak Sampai, Emas Disangko Lo­yang, Hanyuik Sarantau dan kaba lain yang disesuaikan dengan kondisi pendengarnya.

Dendang pauh diiringi enam tingkatan nada. Sesi awal, tu­kang saluang memain­kan nada pado-pado untuk pembukaan. Dilanjutkan po­kok anam, pokok limo, lereng limo, lereng ibo, saluang pirik randam dan nada lambok malam. “Semua ting­katan itu dibunyikan oleh peniup seru­ling, tergantung cerita. Apakah sedih atau senang, atau biasa-biasa saja. Nada yang paling sedih, nada lam­bok malam, se­perti cerita kematian,” te­rang­nya.

Saluang dan dendang pauh punya keistimewaan diban­ding­kan saluang dari daerah darek. Kesenian asal Pauhlimo ini tidak hanya gurindam dan pantun lepas, tetapi mengikuti alur cerita dan kaba. Mengandung nasihat dan tidak ada batasan waktu bagi penonton. Seperti anak-anak, nonton hingga pukul 12 malam. Sementara dari ma­lam mejelang pagi, giliran yang tua-tua. Kata yang disampaikan dapat didengar ipar besan, su­man­do dan mamak rumah, me­nantu dan mertua secara ber­samaan. Sebab, isinya lebih kepada nasihat.

Musik nan indak patueh pado nada, tapi bajalan sata­pak jajak. Itulah dendang pauh. Musiknya tidak tunduk pada nada serulingnya, tetapi mereka sejalan,” kias Buyung Bungo.
Dari segi bentuk, saluang pauh berlidah dan memiliki enam lobang, sementara sa­luang darek hanya empat lo­bang. Cara memainkannya juga tak sama. Saluang darek posisi­nya di pinggir bibir. Kalau sa­luang pauh, posisi memain­kannya di depan bibir dan sejajar dengan wajah.

Di ma simpang tapi lawik, di ateh tanah lapang dipo, sabalah taman melati. Apang lapeh badan tasapik, buayan buluh bakarajo, ulah mambuek kareh hati.”

“Ini isyarat kehati-kehatian buat generasi muda. Jangan terlena oleh buayan dan kein­da­han, sebab yang memberi kein­da­han, sewaktu-waktu mengan­tarkan kita pada keadaan terje­pit,” tutur Buyung Bungo sambil mencontohkan salah satu nasi­hat dendang pauh.

Dia berharap, seluruh lapi­san masyarakat, ninik mamak dan pemerintah daerah meng­gairahkan pementasan dendang pauh. “Ini untuk kelestarian seni budaya Minangkabau. Kita tidak melarang hiburan kebarat-bara­tan seperti orgen tunggal yang mewarnai pesta di Ranah Mi­nang ini. Namun, saya harap, kita jangan meninggalkan seni tradisi. Pemda dapat buat atu­ran,” ujarnya.

“Contohnya, siang hingga pukul enam boleh berorgen. Lalu malamnya, berkesenian tradisional. Kapolsek juga buat aturan, tidak ada  izin keamanan jika orgen lewat dari pukul enam sore. Bisa saja kalau kita mau bekerja sama. Saya yakin, kese­nian tradisional akan hidup,” papar Buyung Bungo.

Senada dengan itu, Kurator Ladang Nan Jombang Tanggal 3, Syuhendri mengatakan, ran­cangan pembangunan harus diiringi dengan pelestarian ke­bu­dayaan. “Negeri ini puisi. Penuh dengan keindahan. Ting­gal bagaimana kita me­num­buhkan semangat berke­bu­dayaan sehingga keindahan puisi itu tetap terjaga,” tutur­nya.

“Festival Nan Jombang Ta­ng­gal 3”, berupaya melakukan penyelamatan sesegera mung­kin. “Jika generasi mendatang hanya mendengar cerita-cerita saja tanpa pernah menyaksikan, kecil kemungkinan mereka akan mengenali budayanya sendiri. Sebaliknya, jika generasi muda telah mengenali budaya, pasti akan muncul rasa memiliki, rasa ingin belajar dan perlahan akan menjadi jati diri generasi muda Minang. Semangat berkebu­da­yaan,” ujar Syuhendri.

Hingga pertengahan malam, para penonton larut bersama Nan Jombang Tanggal 3. Selama itu pula, saluang dan dendang pauh menemani mereka. Kesenian tradisional yang satu ini, tradisi langka yang akan selalu dirindukan.
Padek, Jumat (05/04/2013) by cr1

0 komentar:

Posting Komentar